Setiap kali kita melihat jamaah umrah atau haji berebut dan berdesakan mengambil air zamzam di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, ada sebuah pelajaran yang seharusnya kita renungkan. Air zamzam memang mulia, penuh berkah, dan menjadi salah satu simbol rahmat Allah di bumi. Namun, apakah kemuliaan itu harus kita dapatkan dengan sikap yang justru menghilangkan nilai akhlak?
Pemandangan saling dorong, bahkan terkadang sampai menyinggung perasaan orang lain, mengingatkan kita pada sebuah kisah heroik para sahabat di medan perang. Dalam Perang Yarmuk, ada riwayat tentang para sahabat yang terluka parah dan sangat kehausan. Ketika air dibawakan kepada salah satu dari mereka, ia mendengar sahabat lain yang juga sedang sekarat mengerang kehausan. Dengan kelemahan yang tersisa, ia berkata: “Berikan kepadanya.” Begitu seterusnya, hingga air itu kembali tanpa seorang pun yang sempat meminumnya. Mereka wafat dalam keadaan saling mendahulukan saudaranya, meninggalkan teladan tentang apa arti al-ithar – mengutamakan orang lain meski diri sendiri sangat membutuhkan.
Bayangkan, mereka berada di ambang kematian, luka menganga, haus yang membakar tenggorokan, namun mereka masih mampu berkata: “Saudaraku lebih membutuhkan.” Bandingkan dengan kita, yang berebut demi seteguk zamzam, padahal sumur itu tak akan pernah kering dan tersedia untuk semua jamaah.
Refleksi ini seharusnya membuat kita bertanya: Apakah tujuan ibadah kita hanya sebatas membawa pulang air zamzam? Ataukah justru membentuk akhlak mulia, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama? Rasulullah ? bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Maka, ketika kita berada di tanah suci, jangan hanya mengejar pahala ritual, tetapi juga jagalah nilai-nilai yang lebih tinggi: menghormati sesama, menghindari desakan, dan memberi jalan kepada orang lain. Air zamzam akan habis jika kita kehabisan akhlak.
Mari kita belajar dari para sahabat: kemuliaan bukan hanya pada seteguk air, tetapi pada sikap yang mengutamakan saudara kita, meski kita sendiri menginginkannya.
[Tabik]
Moh. Fanani, M.Fill.I.