Langkah kaki ini terasa berat. Di hadapan saya, kerumunan jamaah memadati jalur menuju Babus Salam, pintu yang mengantarkan ke makam Rasulullah SAW. Dari kejauhan, saya bisa melihat tulisan yang sudah sangat akrab di telinga setiap muslim: Babus Salam. Hati bergetar, air mata mulai menggenang.
Ini bukan sekadar pintu. Ini adalah gerbang cinta. Setiap orang yang melaluinya membawa kerinduan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Saya pun demikian. Dalam hati saya berdoa, Ya Rasulullah, izinkan aku menyampaikan salam. Izinkan aku melewati jalan ini meski hanya sekejap.
Orang-orang berjalan perlahan, sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi menahan tangis. Saya mendengar lirih suara salawat, bercampur dengan isak tangis yang tak bisa disembunyikan. Saya pun menunduk, berbisik dalam hati:
"Assalamu’alaika ya Rasulullah, assalamu’alaika ya Habiballah..."
Air mata jatuh, tak tertahan. Ada rasa bahagia karena bisa dekat dengan beliau, tetapi juga rasa malu yang begitu dalam. Betapa selama ini saya sering lalai, betapa banyak sunnah yang saya abaikan. Betapa diri ini selalu mengaku umat Rasulullah SAW tapi jalan yang saya tempuh jauh dari jalan yang dilewati Rasulullah SAW, diri ini berlumuran dosa, maka pada saat itulah saya bertanya pada diri sendiri:
“Apakah kerinduan ini hanya akan berhenti di sini? Atau akan saya bawa pulang untuk mengubah diri?”
Pertanyaan ini mengantar saya pada sebuah renungan besar: dari Babus Salam, kita harus melangkah menuju Tarbiyatul Islam.
Kerinduan yang kita rasakan di hadapan makam Rasulullah SAW harus menjadi energi untuk memperbaiki diri. Tarbiyatul Islam adalah pendidikan Islami yang mencakup hati, akhlak, dan amal. Ia bukan sekadar teori, tetapi sebuah proses meneladani Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang saya pelajari dari Babus Salam? Bahwa cinta kepada Rasulullah SAW harus diwujudkan dalam empat hal berikut:
1. Mendidik dengan Cinta dan Kelembutan
Di Babus Salam, cinta terasa begitu nyata. Tangisan yang lirih adalah bukti bahwa cinta adalah kekuatan terbesar. Rasulullah SAW mendidik umatnya dengan cinta, bukan dengan paksaan. Beliau menyentuh hati sebelum memberikan aturan.
Allah berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...” (QS. Ali Imran: 159)
Dalam mendidik anak, keluarga, atau sesama, jangan gunakan kata-kata yang menyakiti. Didiklah dengan cinta. Sebagaimana kita rela berdesakan di Babus Salam karena cinta, semoga kita juga rela bersabar dalam mendidik dengan kelembutan.
2. Meneladani Akhlak Rasulullah (Tarbiyah bi Al-Uswah)
Keinginan kita melewati Babus Salam setiap hari adalah bukti bahwa kita mengakui Rasulullah SAW sebagai teladan terbaik.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...” (QS. Al-Ahzab: 21)
Pelajaran: Jangan biarkan kerinduan ini hanya menjadi air mata. Wujudkan dalam tindakan: shalat tepat waktu, jujur dalam ucapan, sabar dalam ujian, santun dalam bersikap. Tarbiyah yang paling kuat adalah melalui contoh, bukan sekadar kata.
3. Menyampaikan Pesan dengan Hikmah
Ketika menyampaikan salam di Babus Salam, kita mengucapkannya dengan penuh kelembutan dan hormat. Begitu pula Rasulullah SAW mendidik umatnya dengan hikmah. Beliau tidak pernah membuat orang lari dari agama, justru mendekatkan dengan kelembutan dan kabar gembira.
Allah berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik...” (QS. An-Nahl: 125)
Jika kita ingin mengajak orang kepada kebaikan, gunakan cara yang bijak. Jangan menghakimi, jangan membuat orang takut. Dekati mereka dengan akhlak, bukan kemarahan.
4. Mendidik untuk Kerendahan Hati dan Keikhlasan
Tangisan di Babus Salam adalah bukti kerendahan hati. Kita datang bukan dengan kebanggaan, tetapi dengan pengakuan bahwa kita hamba yang lemah. Rasulullah SAW sendiri adalah telah mengajarkan hal demikian.
Semoga, kita semua tetap menjadi hamba yang rendah hati, lembut tutur kata, dan senantiasa menanamkan keimanan yang kuat.
[Tabik]
Moh. Fanani, M.Fill.I.